Jepang-Indonesia Incar Selulosa untuk Energi Terbarukan Jepang menawarkan kerjasama teknologi pengolahan biomassa menjadi energi yang terbarukan. Diantaranya adalah penggunaan selulosa dan lignin yang sangat murah.
“Kami punya teknologinya, Indonesia berkelimpahan bahan bakunya,” kata Kotaro Inoue dari Japan Science Technology, di sela-sela Seminar Internasional Teknologi Energi Terbarukan, di kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jumat lalu.
Sayang, Inoue tak bersedia memberikan keterangan lebih detil soal aplikasi selulosa dan lignin. Kedua bahan itu disebutnya mampu mengatasi kelemahan energi biomassa saat ini yang menghasilkan panas pada mesin.
Unggul Priyanto, Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi di BPPT, ketika dihubungi siang tadi menyatakan penggunaan bahan selulosa dan lignin sebagai energi terbarukan masih dalam tataran riset. “Ini termasuk program kerjasama riset kami dengan Jepang,” katanya.
Sumber : Jepang-Indonesia Incar Selulosa untuk Energi Terbarukan TEMPO Interaktif, Jakarta:
Butuh Upaya Bangun Biofuel
Target pemerintah menambah 6 juta hektar lahan kelapa sawit untuk menghasilkan 22,5 juta kiloliter biofuel selama lima tahun dan menciptakan 3 juta hingga 5 juta lapangan kerja merupakan pekerjaan superbesar. Betapa tidak, sejumlah pandangan pesimistis mengemuka.
Tantangan besar, ditambah pula tarik-menarik kepentingan ekonomi antara mendorong penambahan bahan baku berupa minyak sawit mentah untuk ekspor atau mengalihkannya untuk suplai energi.
Awal Maret 2007, Badan Pusat Statistik mengumumkan penurunan ekspor Januari 2007 yang disebabkan oleh penurunan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) akibat penurunan produktivitas petani.
Dengan rencana pengembangan lahan untuk industri biodiesel, maka akan terjadi perubahan orientasi pasar dari ekspor menjadi domestik. Suplai kelapa sawit yang berlimpah di dalam negeri nantinya akan menyebabkan disparitas harga dengan luar negeri. Kondisi ini dikhawatirkan tidak menguntungkan pelaku usaha.
Nada pesimistis juga terkait dengan pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit yang dapat memunculkan masalah kepemilikan lahan dan konservasi hutan. Polusi asap akan semakin meningkat jika pembukaan lahan dilakukan dengan cara pembakaran. Belum lagi masalah hilangnya keberagaman hayati.
Penciptaan lapangan kerja juga dikhawatirkan tidak sesuai dengan target karena dugaan industri biofuel hanya akan menarik tenaga kerja yang sudah berpengalaman dari sektor lain daripada mengambil tenaga kerja dari para pengangguran.
Pengembangan biofuel pun akan percuma jika harganya, baik biodiesel maupun bioetanol, lebih tinggi atau beda tipis dari harga bahan bakar fosil. Selain itu, juga muncul kekhawatiran dari para produsen bahwa untuk menghasilkan biofuel butuh proses produksi yang lebih mahal sehingga input dan outputnya tidak seimbang.
Peluang lapangan kerja
Kajian yang dilakukan oleh tim peneliti biofuel dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebutkan, penciptaan lapangan kerja kegiatan usaha biofuel terutama di bagian hulu, yakni di perkebunan dan pabrik pengolahannya.
Di perkebunan kelapa sawit, misalnya, lahan 2 hektar membutuhkan 1 tenaga kerja. Artinya, untuk 1 juta hektar berpeluang bagi 500.000 orang. Untuk tanaman jarak pagar, 1 hektar lahan membutuhkan tenaga 2 orang. Apabila pengembangan ini dilakukan, maka peluang kerja itu bisa diisi oleh tenaga yang menganggur di sektor pertanian. Tidak perlu lagi mengambil tenaga kerja dari sektor lain yang punya pengalaman atau keterampilan.
Untuk pengolahannya, satu pabrik biodiesel yang berkapasitas 3.000 ton per tahun membutuhkan setidaknya 30 tenaga kerja. Semakin besar kapasitas pabrik, semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan.
Di sektor distribusi relatif tidak membutuhkan pemain atau tenaga kerja baru karena bisa memanfaatkan jalur distribusi PT Pertamina. Pertamina berkomitmen membeli dan menyalurkan produk biodiesel. Saat ini Pertamina telah memasarkan biodiesel dengan nama dagang Biosolar B5, yakni campuran 5 persen faty acid metil ester dan 95 persen solar.
Dalam proses produksinya, jika lokasi pabrik berada di perkotaan, pengolahan biodiesel menggunakan reaktor atau pemanas dengan energi listrik bersuhu hingga 70 derajat Celcius. Penggunaan energi listrik ini berbiaya tinggi. Akan tetapi, jika lokasinya dekat dengan pabrik kelapa sawit, maka bahan bakar pengolahannya bisa menggunakan biomassa kelapa sawit untuk suplai pemanas sehingga efisien dan menguntungkan produsen.
Akan tetapi, biaya produksi biodiesel tergantung pada harga bahan baku. Jika harga CPO tinggi, maka harga jual juga akan mahal. Kalkulasi BPPT, dengan harga CPO Rp 3.000 per kilogram, maka biaya pengolahan Rp 1.000 per kilogram, ditambah pajak, biaya transportasi, dan marjin keuntungan pengusaha, harga bersih biodiesel Rp 4.455 per liter. Harga ini lebih tinggi dari harga jual Pertamina yang sebesar Rp 4.300 per liter.
Selain itu, biaya produksi juga tergantung pada kapasitas produksi. Semakin besar kapasitas produksi, semakin kecil biaya pengolahan per liter biodiesel.
Pada kapasitas produksi pabrik sebanyak 3.000 ton per tahun, biaya pengolahan Rp 1.000 per kilogram. Namun, jika kapasitas produksi 30.000 ton per tahun, biaya pengolahan turun menjadi Rp 800 per kilogram, dan 100.000 ton per tahun menjadi Rp 600 per kilogram. Sayangnya, teknologi dan keuangan pemerintah baru mampu untuk membangun pabrik berkapasitas 3.000 ton per tahun.
Saat ini, harga jual biodiesel bersaing dengan harga solar di Mid Oil Platts Singapore (MOPS). Apabila harga jual biodiesel dalam negeri lebih tinggi, maka lebih untung bagi pemerintah mengimpor solar pada harga MOPS.
Namun, jika industri biodiesel berkembang dan biaya produksi bisa terus ditekan, nilai positif yang bisa dipetik oleh pemerintah bukan hanya pada efek berantai yang tercipta, tetapi juga menghemat belanja negara.
Diperkirakan, pada harga minyak mentah 57 dollar AS per barrel, anggaran yang bisa dihemat dari substitusi solar impor bisa mencapai Rp 400 miliar per tahun. Apabila harga minyak mentah 63 dollar AS per barrel, belanja yang bisa dihemat hampir Rp 1,2 triliun.
Dengan segala kekhawatiran dan optimistis yang menyertai kebijakan energi, pekerjaan superbesar ini harus tetap berlanjut. Kebijakan energi ini telah mengikutsertakan Indonesia ke dalam daftar negara-negara yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang tak terbarukan. Produksi biodiesel dunia tahun 2005 sudah mencapai 3.762 juta liter. Penyumbang terbesar (51 persen) adalah Jerman dengan produksi jenis B100 (biofuel murni).
Sampai tahun 2025 pemerintah menargetkan pemakaian energi dari biofuel meningkat menjadi 5 persen dari total konsumsi. Pertamina sudah memasarkan biodiesel di 198 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta dan 5 SPBU di Surabaya. Volume pemasaran di Jakarta berkisar 1.200 kiloliter hingga 1.300 kiloliter per hari. Di Surabaya berkisar 80 kiloliter hingga 100 kiloliter per hari.
Tantangan yang harus dijawab pemerintah agar pihak swasta mau terjun ke bisnis ini antara lain kemudahan dalam perluasan lahan dan status kepemilikan tanah. Lalu menyosialisasikan jenis bahan bakar nabati ini kepada masyarakat agar mau beralih menggunakan biofuel.
Sumber : Energi Alternatif : Butuh Upaya Bangun Biofuel
|
Energi Alternatif : Butuh Upaya Bangun Biofuel
Target pemerintah menambah 6 juta hektar lahan kelapa sawit untuk menghasilkan 22,5 juta kiloliter biofuel selama lima tahun dan menciptakan 3 juta hingga 5 juta lapangan kerja merupakan pekerjaan superbesar. Betapa tidak, sejumlah pandangan pesimistis mengemuka.
Tantangan besar, ditambah pula tarik-menarik kepentingan ekonomi antara mendorong penambahan bahan baku berupa minyak sawit mentah untuk ekspor atau mengalihkannya untuk suplai energi.
Awal Maret 2007, Badan Pusat Statistik mengumumkan penurunan ekspor Januari 2007 yang disebabkan oleh penurunan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) akibat penurunan produktivitas petani.
Dengan rencana pengembangan lahan untuk industri biodiesel, maka akan terjadi perubahan orientasi pasar dari ekspor menjadi domestik. Suplai kelapa sawit yang berlimpah di dalam negeri nantinya akan menyebabkan disparitas harga dengan luar negeri. Kondisi ini dikhawatirkan tidak menguntungkan pelaku usaha.
Nada pesimistis juga terkait dengan pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit yang dapat memunculkan masalah kepemilikan lahan dan konservasi hutan. Polusi asap akan semakin meningkat jika pembukaan lahan dilakukan dengan cara pembakaran. Belum lagi masalah hilangnya keberagaman hayati.
Penciptaan lapangan kerja juga dikhawatirkan tidak sesuai dengan target karena dugaan industri biofuel hanya akan menarik tenaga kerja yang sudah berpengalaman dari sektor lain daripada mengambil tenaga kerja dari para pengangguran.
Pengembangan biofuel pun akan percuma jika harganya, baik biodiesel maupun bioetanol, lebih tinggi atau beda tipis dari harga bahan bakar fosil. Selain itu, juga muncul kekhawatiran dari para produsen bahwa untuk menghasilkan biofuel butuh proses produksi yang lebih mahal sehingga input dan outputnya tidak seimbang.
Peluang lapangan kerja
Kajian yang dilakukan oleh tim peneliti biofuel dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebutkan, penciptaan lapangan kerja kegiatan usaha biofuel terutama di bagian hulu, yakni di perkebunan dan pabrik pengolahannya.
Di perkebunan kelapa sawit, misalnya, lahan 2 hektar membutuhkan 1 tenaga kerja. Artinya, untuk 1 juta hektar berpeluang bagi 500.000 orang. Untuk tanaman jarak pagar, 1 hektar lahan membutuhkan tenaga 2 orang. Apabila pengembangan ini dilakukan, maka peluang kerja itu bisa diisi oleh tenaga yang menganggur di sektor pertanian. Tidak perlu lagi mengambil tenaga kerja dari sektor lain yang punya pengalaman atau keterampilan.
Untuk pengolahannya, satu pabrik biodiesel yang berkapasitas 3.000 ton per tahun membutuhkan setidaknya 30 tenaga kerja. Semakin besar kapasitas pabrik, semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan.
Di sektor distribusi relatif tidak membutuhkan pemain atau tenaga kerja baru karena bisa memanfaatkan jalur distribusi PT Pertamina. Pertamina berkomitmen membeli dan menyalurkan produk biodiesel. Saat ini Pertamina telah memasarkan biodiesel dengan nama dagang Biosolar B5, yakni campuran 5 persen faty acid metil ester dan 95 persen solar.
Dalam proses produksinya, jika lokasi pabrik berada di perkotaan, pengolahan biodiesel menggunakan reaktor atau pemanas dengan energi listrik bersuhu hingga 70 derajat Celcius. Penggunaan energi listrik ini berbiaya tinggi. Akan tetapi, jika lokasinya dekat dengan pabrik kelapa sawit, maka bahan bakar pengolahannya bisa menggunakan biomassa kelapa sawit untuk suplai pemanas sehingga efisien dan menguntungkan produsen.
Akan tetapi, biaya produksi biodiesel tergantung pada harga bahan baku. Jika harga CPO tinggi, maka harga jual juga akan mahal. Kalkulasi BPPT, dengan harga CPO Rp 3.000 per kilogram, maka biaya pengolahan Rp 1.000 per kilogram, ditambah pajak, biaya transportasi, dan marjin keuntungan pengusaha, harga bersih biodiesel Rp 4.455 per liter. Harga ini lebih tinggi dari harga jual Pertamina yang sebesar Rp 4.300 per liter.
Selain itu, biaya produksi juga tergantung pada kapasitas produksi. Semakin besar kapasitas produksi, semakin kecil biaya pengolahan per liter biodiesel.
Pada kapasitas produksi pabrik sebanyak 3.000 ton per tahun, biaya pengolahan Rp 1.000 per kilogram. Namun, jika kapasitas produksi 30.000 ton per tahun, biaya pengolahan turun menjadi Rp 800 per kilogram, dan 100.000 ton per tahun menjadi Rp 600 per kilogram. Sayangnya, teknologi dan keuangan pemerintah baru mampu untuk membangun pabrik berkapasitas 3.000 ton per tahun.
Saat ini, harga jual biodiesel bersaing dengan harga solar di Mid Oil Platts Singapore (MOPS). Apabila harga jual biodiesel dalam negeri lebih tinggi, maka lebih untung bagi pemerintah mengimpor solar pada harga MOPS.
Namun, jika industri biodiesel berkembang dan biaya produksi bisa terus ditekan, nilai positif yang bisa dipetik oleh pemerintah bukan hanya pada efek berantai yang tercipta, tetapi juga menghemat belanja negara.
Diperkirakan, pada harga minyak mentah 57 dollar AS per barrel, anggaran yang bisa dihemat dari substitusi solar impor bisa mencapai Rp 400 miliar per tahun. Apabila harga minyak mentah 63 dollar AS per barrel, belanja yang bisa dihemat hampir Rp 1,2 triliun.
Dengan segala kekhawatiran dan optimistis yang menyertai kebijakan energi, pekerjaan superbesar ini harus tetap berlanjut. Kebijakan energi ini telah mengikutsertakan Indonesia ke dalam daftar negara-negara yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang tak terbarukan. Produksi biodiesel dunia tahun 2005 sudah mencapai 3.762 juta liter. Penyumbang terbesar (51 persen) adalah Jerman dengan produksi jenis B100 (biofuel murni).
Sampai tahun 2025 pemerintah menargetkan pemakaian energi dari biofuel meningkat menjadi 5 persen dari total konsumsi. Pertamina sudah memasarkan biodiesel di 198 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta dan 5 SPBU di Surabaya. Volume pemasaran di Jakarta berkisar 1.200 kiloliter hingga 1.300 kiloliter per hari. Di Surabaya berkisar 80 kiloliter hingga 100 kiloliter per hari.
Tantangan yang harus dijawab pemerintah agar pihak swasta mau terjun ke bisnis ini antara lain kemudahan dalam perluasan lahan dan status kepemilikan tanah. Lalu menyosialisasikan jenis bahan bakar nabati ini kepada masyarakat agar mau beralih menggunakan biofuel.
Sumber : Energi Alternatif : Butuh Upaya Bangun Biofuel
Kembangkan Energi Biodiesel, Industri Hilir Sawit Harus Dikembangkan Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau, memulai pengembangan industri biodiesel, setelah mendapatkan suntikan dana dari APBN sebesar Rp 17 miliar. Pabrik biodiesel yang tengah didirikan di Kecamatan Tambusai, diharapkan mulai beroperasi tahun 2007 ini.
Bupati Rokan Hulu Achmad, Minggu (15/4), mengatakan, pemerintah daerah menargetkan produksi biodiesel 10.000 liter per hari. Produksi ini hanya dapat mencukupi kebutuhan bahan bakar lokal semata.
"Dari sisi harga, biodiesel lebih murah sekitar Rp 300 per liter dibandingkan solar industri. Ongkos transportasi dari tempat bahan baku ke pabrik bisa ditekan bahkan dianggap tidak ada, sehingga biaya pembuatan biodiesel bisa dikurangi," katanya.
Achmad juga yakin bahwa produksi bahan baku biodiesel dari minyak sawit mentah (CPO) yang dihasilkan dari Rokan Hulu dapat memenuhi kebutuhan industri di sini. Sampai saat ini, rata-rata produksi CPO Kabupaten Rokan Hulu mencapai 660.000 ton per tahun.
Ia berharap, para pengusaha perkebunan kelapa sawit dan pemilik pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) juga mendukung kehadiran pabrik biodiesel dengan menjual CPO untuk bahan baku energi terbarukan ini. Selama ini, sebagian besar CPO masih digunakan untuk kebutuhan ekspor, karena harganya lebih menguntungkan. ART (Kompas) (Kompas Cyber Media) Pekanbaru, Kompas
|